Di pelosok desa yang diselimuti kabut pagi bernama Mekarsari, hiduplah seorang pemuda bernama Maulana. Namanya berarti ‘pelindung’ atau ‘tuan kami’, sebuah gelar agung yang terasa berat jika disandingkan dengan nasibnya yang jauh dari kemuliaan.
Bagi warga Mekarsari, Maulana adalah lambang ketidakberuntungan. Bukan karena ia malas, justru ia adalah pemuda yang paling rajin, tetapi seolah ada tirai takdir yang sengaja menutup setiap jalan yang ia coba lalui.
Mimpi Maulana bukanlah tentang gemerlap lampu kota, melainkan tentang ketahanan. Ia bermimpi menjadi ahli bangunan, merancang rumah-rumah warga desa yang kokoh, tiang-tiang balai pertemuan yang tidak mudah lapuk, dan saluran irigasi yang presisi agar sawah tidak lagi kekeringan.
Ia telah belajar secara otodidak, membaca buku-buku konstruksi bekas yang ia dapat dari pasar kecamatan. Setiap kali ada proyek pembangunan di desa, Maulana selalu menjadi yang pertama menawarkan diri. Namun, hasilnya selalu nihil.
Tiga kali ia mencoba membangun jembatan kecil di sungai desa, tiga kali pula jembatan itu ambruk diterjang banjir bandang—padahal ramalan cuaca mengatakan kemarau.
Ketika ia mencoba menanam bibit unggul di lahan warisan, hama yang aneh menyerang hanya di petaknya, sementara sawah tetangga panen melimpah ruah. Bahkan, kambing yang ia pelihara dengan kasih sayang untuk modal menikah, dicuri pada malam takbiran, malam yang seharusnya penuh berkah.
“Aku sudah berusaha sekuat tenaga, ya Tuhan. Aku sudah menunaikan semua ikhtiar. Sampai kapan kemalangan ini akan berakhir?” ratap Maulana dalam sujudnya, di musala tua yang dindingnya ia coba perbaiki berkali-kali.
Ibunya, seorang wanita tua dengan tatapan teduh yang selalu menenangkan, jatuh sakit-sakitan. Biaya pengobatan, meski hanya ke puskesmas terdekat, menjadi beban maha berat.
Maulana terpaksa mengubur mimpinya sementara waktu. Ia beralih menjadi kuli panggul di pasar desa, mengangkat karung beras dan hasil bumi dari fajar menyingsing hingga azan Magrib berkumandang.
Di punggungnya yang kini dipenuhi bekas luka dan memikul beban puluhan kilogram, ia tak pernah berhenti menggambar. Ketika waktu istirahat tiba, ia akan menarik arang dari sisa kayu bakar dan mulai membuat sketsa di atas tanah lapang. Sketsa tentang bagaimana ia akan merancang rumah ibunya, bagaimana ia akan memperbaiki tandon air desa yang selalu bocor.
Rasa sakitnya kini berlipat ganda: lelah fisik dan kepedihan melihat mimpi yang ia cintai perlahan membeku dalam kelelahan.
Suatu sore, saat pasar sudah sepi dan tetesan gerimis mulai membasahi bumi, Maulana melihat Pak Kyai Hasan, pemimpin rohani desa yang sangat dihormati, sedang berdiri kebingungan di samping tumpukan papan kayu jati yang baru tiba dari kota. Papan-papan itu sangat berharga, ditujukan untuk renovasi total madrasah.
“Ada yang bisa saya bantu, Kyai?” tanya Maulana, seraya meletakkan karung kosongnya.
“Maulana, Nak. Papan-papan ini harus segera diangkat sebelum hujan deras. Tapi tidak ada yang mau membantu, hari sudah petang,” kata Pak Kyai dengan nada pasrah.
Tanpa banyak bicara, Maulana mulai bekerja. Ia mengangkat papan-papan kayu jati yang berat itu satu per satu ke dalam gudang madrasah, tenaganya terkuras habis, tetapi hatinya terasa ringan. Ia melakukannya bukan untuk upah, melainkan karena keikhlasan dan rasa hormat pada ilmu.
Setelah selesai, Pak Kyai Hasan menatapnya lekat-lekat. “Kau pemuda yang kuat dan jujur, Nak. Tapi mengapa kau tidak pernah berhasil dalam usahamu?” Maulana hanya tersenyum getir. “Mungkin Tuhan belum mengizinkan, Kyai. Saya hanya bisa menunggu keajaiban-Nya.”






