Di sela-sela deru transformasi teknologi yang kian kencang, dunia pendidikan kita tengah berada di ambang persimpangan yang krusial. Digitalisasi bukan lagi sekadar tamu yang mengetuk pintu, melainkan penghuni tetap yang telah mengubah lanskap ruang kelas secara fundamental. Namun, di balik gemerlap layar kristal cair dan kecanggihan kecerdasan buatan, muncul sebuah pertanyaan eksistensial: di manakah posisi guru sebagai penuntun jiwa?
Esai ini akan membedah urgensi peran guru dalam mengolaborasikan kecanggihan digital dengan nilai-nilai luhur, sebuah orkestrasi yang menuntut kebijaksanaan mendalam agar teknologi tetap menjadi alat, bukan tuan.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa digitalisasi adalah jembatan menuju perpustakaan dunia yang tak bertepi. Guru yang visioner melihat perangkat digital sebagai “perpanjangan tangan” untuk menyederhanakan konsep yang rumit, menghadirkan simulasi yang mustahil di dunia nyata, dan menembus sekat-sekat geografis.
Namun, tanpa kendali yang kuat, teknologi bisa menjelma menjadi labirin yang menyesatkan. Di sinilah letak peran pertama sang guru: sebagai kurator informasi.
Dalam belantara data yang berlimpah, guru bertugas mengajarkan pemilahan (diseminasi) informasi. Bukan sekadar cara mengunduh materi, melainkan bagaimana menumbuhkan nalar kritis siswa agar mampu membedakan antara fakta dan disinformasi (hoaks).
Guru yang bijak dalam pemanfaatan digital tidak hanya mengejar kemahiran teknis (hard skills), tetapi juga menekankan etika digital yang berakar pada nilai kejujuran dan tanggung jawab.
Pemanfataan digital dalam pendidikan sering kali dikhawatirkan akan menggerus nilai-nilai luhur seperti sopan santun, empati, dan gotong royong. Di dunia maya, anonimitas sering kali menjadi topeng bagi perilaku yang jauh dari budi pekerti. Di titik inilah, guru harus hadir sebagai kompas moral.
Mengajar dengan teknologi bukan berarti membiarkan mesin mengambil alih interaksi manusiawi. Guru tetaplah sosok teladan (uswatun hasanah) yang harus menunjukkan bahwa di balik setiap akun media sosial atau platform pembelajaran, ada manusia yang harus dihormati.
Guru harus mampu menyisipkan nilai-nilai luhur dalam setiap penugasan digital. Misalnya, dalam diskusi daring, guru menekankan pentingnya tata krama berbahasa (unggah-ungguh) sesuai dengan budaya ketimuran kita yang adiluhung. Pemanfataan digital harus menjadi sarana untuk memperkuat karakter, bukan melemahkannya.
Salah satu tantangan terbesar adalah risiko demanusiawi dalam pendidikan. Jika guru hanya sekadar menyodorkan tautan video pembelajaran tanpa ada sentuhan dialogis, maka pendidikan akan kehilangan ruhnya. Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Teknologi secanggih apa pun tidak akan pernah bisa menggantikan pelukan empati seorang guru saat siswa mengalami kegagalan, atau sorot mata bangga saat siswa mencapai prestasi.






